Oleh: Sahrina Wilis*)
Museum Sang Nila Utama: Jendela Budaya dan Sejarah Riau
Di jantung kota Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, berdiri sebuah bangunan megah bergaya arsitektur Melayu tradisional. Inilah Museum Sang Nila Utama, sebuah lembaga yang tidak hanya menjadi tempat penyimpanan artefak, tetapi juga menjadi saksi perjalanan panjang dan kaya akan sejarah serta budaya masyarakat Riau. Didirikan pada tahun 1994 dan diresmikan empat tahun kemudian, museum ini telah menjadi ikon budaya yang menarik perhatian tidak hanya masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan dari berbagai penjuru.
Nama museum ini sendiri sarat makna. “Sang Nila Utama” merujuk pada sosok legendaris yang diyakini sebagai pendiri Kerajaan Sriwijaya, salah satu kerajaan maritim terbesar dalam sejarah Nusantara. Pemilihan nama ini bukan tanpa alasan. Ini menunjukkan keterkaitan erat Riau dengan sejarah maritim dan perdagangan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Dari pelabuhan-pelabuhan kuno di sepanjang Sungai Siak hingga Selat Malaka, Riau telah menjadi titik penting dalam jaringan perdagangan yang membentang dari Tiongkok hingga Timur Tengah.
Dengan luas sekitar 2.000 meter persegi, Museum Sang Nila Utama menawarkan perjalanan waktu yang memukau melalui dua lantai penuh koleksi. Begitu memasuki museum, pengunjung akan disambut oleh replika kapal Lancang Kuning yang megah. Ini bukan sekadar miniatur biasa. Lancang Kuning adalah simbol kebesaran Kerajaan Siak, yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Riau. Kapal ini mewakili kekuatan maritim, diplomasi, dan perdagangan yang menjadi tulang punggung kejayaan kerajaan tersebut.
Kisah Riau tidak hanya tentang kerajaan-kerajaan besar. Di sudut-sudut museum, pengunjung akan menemukan artefak-artefak yang menggambarkan kehidupan sehari-hari suku-suku asli Riau. Ada koleksi yang menceritakan tradisi suku Sakai, dengan keterampilan berburu dan pengetahuan alamnya yang mendalam. Ada pula benda-benda yang menggambarkan ritual suku Talang Mamak atau kerajinan tangan suku Bonai. Setiap artefak adalah sebuah narasi, sebuah jendela ke dunia masyarakat yang telah mendiami hutan, sungai, dan pesisir Riau jauh sebelum kemunculan kerajaan-kerajaan.
Salah satu daya tarik unik museum adalah koleksi naskah-naskah kuno. Ditulis di atas daun lontar atau kulit kayu dengan aksara Arab-Melayu, naskah-naskah ini menyimpan kearifan lokal, syair-syair epik, dan catatan sejarah yang tak ternilai. Melalui naskah-naskah ini, pengunjung bisa merasakan bagaimana sastra dan ilmu pengetahuan berkembang di bawah naungan istana-istana Melayu, menciptakan tradisi intelektual yang kaya. Namun, di era digital dan pengalaman immersif ini, apakah sebuah museum yang “hanya” memamerkan benda-benda kuno masih relevan? Jawabannya adalah ya, dengan catatan. Museum modern telah berevolusi jauh melampaui fungsi tradisionalnya sebagai repositori artefak. Mereka telah menjadi pusat pembelajaran interaktif, ruang diskusi publik, dan bahkan tempat pertemuan sosial dan kultural.
Data dari International Council of Museums (ICOM) menawarkan perspektif menarik. Dari lebih dari 95.000 museum di seluruh dunia, mereka menerima sekitar 10 miliar kunjungan setiap tahunnya. Angka ini menunjukkan bahwa minat terhadap museum tidak pernah surut. Yang berubah adalah ekspektasi pengunjung. Mereka tidak lagi puas dengan pameran statis. Mereka menginginkan pengalaman yang mendalam, interaktif, dan berkesan. Di sinilah peluang besar bagi Museum Sang Nila Utama. Dengan koleksi yang mencakup ribuan tahun sejarah Riau, museum ini memiliki bahan baku sempurna untuk menciptakan pengalaman wisata yang unik. Bayangkan seorang pengunjung dapat “berbincang” dengan hologram seorang panglima Kerajaan Siak, mendiskusikan strategi pertahanan atau rute perdagangan. Atau mungkin, melalui augmented reality (AR), mereka bisa melihat proses pembuatan kain tenun Melayu tradisional, dari pemintalan benang hingga motif-motif yang sarat makna.
Lebih dari itu, museum dapat menjadi titik awal yang sempurna bagi wisatawan untuk mengeksplorasi Riau lebih dalam. Setelah memahami konteks historis dan kultural di museum, seorang wisatawan akan jauh lebih menghargai kunjungan ke situs-situs seperti Istana Siak atau partisipasi dalam festival seperti Riau Expo. Mereka tidak hanya melihat bangunan atau pertunjukan, tetapi memahami narasi besar di baliknya. Dalam konteks ekonomi pariwisata, ini berarti Museum Sang Nila Utama bukan sekadar destinasi tunggal. Ia menjadi katalis yang mendorong wisatawan untuk tinggal lebih lama, mengunjungi lebih banyak tempat, dan tentunya, membelanjakan lebih banyak. Seorang wisatawan yang terkesan dengan kisah Lancang Kuning di museum mungkin akan menyewa perahu untuk menyusuri Sungai Siak. Yang terpesona dengan tenun Melayu akan mencari galeri atau workshop lokal. Dan yang tertarik dengan kuliner tradisional akan menjelajahi pasar dan restoran.
Manfaat ekonomi dari museum tidak terbatas pada tiket masuk atau penjualan suvenir. Ia menyebar ke sektor transportasi, akomodasi, kuliner, dan kerajinan. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang seringkali menjadi tulang punggung ekonomi lokal, akan merasakan dampak positifnya. Namun, untuk merealisasikan potensi ini, Museum Sang Nila Utama perlu bergerak lebih dari sekadar “menjaga” warisan. Ia harus menjadi ruang dinamis yang terus berevolusi. Pameran temporer dengan tema-tema kontemporer, seperti “Riau dalam Seni Modern” atau “Dari Naskah ke Netflix: Evolusi Storytelling Melayu”, bisa menarik kunjungan berulang. Program-program seperti lokakarya kaligrafi Arab-Melayu atau kelas memasak hidangan istana akan menciptakan keterlibatan mendalam.
Tantangan dan Peluang: Mengoptimalkan Potensi Museum
Museum Sang Nila Utama, dengan koleksi yang mencakup ribuan tahun sejarah dan budaya Riau, memiliki potensi besar untuk menjadi magnet pariwisata. Namun, potensi ini belum sepenuhnya terealisasi. Untuk memahami bagaimana museum ini dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi pariwisata yang sesungguhnya, kita perlu menyelami tantangan yang dihadapi serta peluang yang dapat dimanfaatkan.
Tantangan pertama dan mungkin yang paling mendasar adalah persepsi publik. Meskipun museum telah berevolusi menjadi ruang pengalaman dan interaksi, stereotip lama masih bertahan. Bagi sebagian orang, terutama generasi muda, kata “museum” masih berkonotasi dengan tempat yang “membosankan”, penuh benda-benda tua yang tidak relevan dengan kehidupan modern. Ini adalah hambatan serius, mengingat generasi muda – baik dari Indonesia maupun mancanegara – merupakan segmen wisatawan yang signifikan dan berpengaruh.
Tantangan ini diperparah oleh era digital yang kita hidupi sekarang. Generasi Z dan Milenial, yang tumbuh dengan akses instan ke informasi dan hiburan, mencari pengalaman yang tidak hanya edukatif, tetapi juga interaktif dan “instagramable”. Mereka menginginkan konten yang dapat dibagikan di media sosial, menciptakan FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan teman-teman mereka. Museum Sang Nila Utama, dengan pameran yang sebagian besar masih konvensional, berisiko dianggap ketinggalan zaman oleh kelompok demografis ini.
Tantangan kedua adalah kompetisi. Riau bukanlah satu-satunya destinasi wisata di Sumatera, apalagi di Indonesia. Provinsi tetangga, Sumatera Barat, memiliki ikon wisata seperti Jam Gadang di Bukittinggi dan pemandangan memukau Danau Maninjau. Sementara itu, Sumatera Utara menawarkan keajaiban alam Danau Toba dan budaya unik suku Batak. Dalam konteks nasional yang lebih luas, Riau harus bersaing dengan destinasi top seperti Bali, Yogyakarta, atau Raja Ampat. Bagaimana Museum Sang Nila Utama dapat menonjol di tengah persaingan ini?
Infrastruktur dan ekosistem pariwisata juga menjadi tantangan tersendiri. Meskipun akses ke museum cukup baik berkat lokasinya di Pekanbaru, fasilitas pendukung pariwisata masih perlu peningkatan signifikan. Ketersediaan hotel berkualitas dengan berbagai tingkat harga, sistem transportasi umum yang efisien dan ramah turis, atau pusat informasi wisata yang komprehensif masih terbatas. Di dalam museum sendiri, beberapa area pamer membutuhkan renovasi. Kurangnya fasilitas modern seperti sistem audio guide multilingual atau area interaktif berbasis teknologi membatasi daya tarik bagi wisatawan internasional.
Tantangan internal yang tidak kalah penting adalah keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun manusia. Seperti banyak museum daerah di Indonesia, Museum Sang Nila Utama mungkin menghadapi kendala anggaran. Inisiatif-inisiatif seperti akuisisi koleksi baru, kampanye pemasaran digital yang efektif, atau pengembangan teknologi immersif membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Selain itu, menarik dan mempertahankan tenaga profesional seperti kurator inovatif, ahli teknologi museum, atau tim pemasaran digital yang efektif juga bukan tugas mudah, terutama ketika harus bersaing dengan sektor swasta atau lembaga di kota-kota besar.
Dukungan kebijakan juga membuka peluang besar. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, telah menekankan pentingnya pengembangan wisata budaya dan kreatif. Program-program seperti “10 Bali Baru” dan fokus pada desa-desa wisata menunjukkan komitmen untuk diversifikasi dari sekadar wisata alam. Ini membuka peluang untuk dukungan kebijakan, akses ke pendanaan pemerintah, atau bahkan kolaborasi dalam program pelatihan dan promosi internasional.
Peluang kolaborasi juga terbuka lebar. Sektor swasta, terutama perusahaan teknologi lokal atau startup kreatif, bisa menjadi mitra dalam pengembangan aplikasi museum atau instalasi interaktif. Kemitraan dengan agen perjalanan atau maskapai penerbangan untuk paket wisata tematik “Riau Heritage” dapat menjadi solusi win-win. Lembaga pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas internasional, juga mitra potensial untuk program edukasi atau penelitian.
Salah satu peluang yang sering terabaikan adalah potensi “wisata nostalgia”. Riau, seperti banyak daerah di Indonesia, memiliki diaspora yang signifikan. Banyak warga Riau yang kini tinggal di Jakarta, Singapura, atau bahkan Eropa dan Amerika. Mereka, beserta keturunannya, merupakan pasar yang belum digarap untuk wisata berbasis kenangan. Museum Sang Nila Utama, dengan koleksi yang merefleksikan kehidupan di Riau dari berbagai era, bisa menjadi daya tarik utama bagi mereka untuk “pulang kampung” dan memperkenalkan akar budaya kepada generasi berikutnya.
Strategi Transformasi: Dari Museum ke Pusat Ekonomi Kreatif
Mengubah Museum Sang Nila Utama dari sekadar repositori artefak menjadi pusat dinamis pertumbuhan ekonomi pariwisata bukanlah tugas ringan. Ini membutuhkan visi yang jelas, strategi komprehensif, dan komitmen dari berbagai pemangku kepentingan. Namun, dengan pemahaman mendalam tentang tantangan dan peluang yang ada, transformasi ini bukan hanya mungkin, tetapi juga berpotensi menciptakan model baru di mana pelestarian budaya dan kemajuan ekonomi saling memperkuat.
Revitalisasi Fisik dan Konten, langkah pertama adalah mengubah pengalaman berkunjung ke museum. Museum modern bukanlah tempat yang statis; mereka adalah ruang interaktif yang melibatkan emosi dan intelektual pengunjung. Renovasi area pameran Museum Sang Nila Utama harus dimulai dengan pendekatan storytelling. Alih-alih sekadar menampilkan artefak dengan label deskriptif, setiap zona harus menceritakan kisah.
Pemasaran Digital dan Branding, di era di mana sebagian besar keputusan perjalanan dimulai dengan pencarian online, kehadiran digital yang kuat adalah keharusan. Strategi pemasaran Museum Sang Nila Utama harus melampaui sekadar memiliki website; ia harus menciptakan narasi digital yang memikat. Langkah pertama adalah rebranding. Museum perlu identitas visual yang segar dan tagline yang menangkap esensinya. Misalnya: “Museum Sang Nila Utama: Di Mana Setiap Artefak Memiliki Kisah, Setiap Kisah Menginspirasi Masa Depan.” Branding ini menekankan bahwa museum bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang menginspirasi inovasi dan kreativitas.
Kolaborasi dan Integrasi, Museum Sang Nila Utama tidak boleh berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian integral dari ekosistem pariwisata dan ekonomi kreatif Riau. Ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan integrasi dengan berbagai inisiatif. Kerjasama dengan sektor perhotelan dan agen perjalanan adalah langkah awal. Paket “Riau Heritage Trail” bisa mencakup menginap di hotel berbasis arsitektur Melayu, kunjungan ke museum, tur ke Istana Siak, dan makan malam dengan pertunjukan tari tradisional. Museum bahkan bisa menjadi tempat check-in unik, di mana tamu hotel mendapatkan “kunci kamar” berupa replika koin kerajaan kuno.
Pengembangan Kapasitas dan Keberlanjutan, semua strategi di atas membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan pendekatan yang menjamin keberlanjutan jangka panjang. Pertama, investasi dalam pelatihan staf. Kerjasama dengan lembaga seperti ICOM (International Council of Museums) atau museum terkemuka seperti British Museum dapat memberikan pelatihan dalam manajemen koleksi digital, desain pameran interaktif, atau engagement komunitas. Program pertukaran staf dengan museum lain di Indonesia atau Asia Tenggara juga bisa membawa ide-ide segar. Kedua, membangun tim lintas disiplin. Selain kurator dan arkeolog, museum perlu merekrut desainer UX, ahli media sosial, dan manajer kemitraan. Mungkin tidak semua bisa menjadi staf penuh waktu, tetapi kolaborasi dengan freelancer atau mahasiswa magang bisa menjadi solusi.
Kesimpulan
Museum Sang Nila Utama memiliki potensi luar biasa untuk menjadi lebih dari sekadar repositori artefak. Dengan strategi yang tepat, ia dapat bertransformasi menjadi jantung ekonomi pariwisata Riau yang berdenyut kencang. Melalui revitalisasi fisik dan konten, ia menawarkan pengalaman yang mendalam dan berkesan. Melalui pemasaran digital yang cerdas, ia menjangkau dan menarik wisatawan dari berbagai segmen. Melalui kolaborasi dan integrasi, ia menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem pariwisata dan ekonomi kreatif Riau. Namun yang terpenting, transformasi ini bukanlah tentang mengeksploitasi warisan budaya demi keuntungan semata. Ini adalah tentang menggunakan kekuatan budaya untuk pemberdayaan masyarakat. Setiap artefak yang dipamerkan, setiap kisah yang diceritakan, dan setiap pengunjung yang datang membawa potensi untuk meningkatkan pemahaman, menginspirasi kreativitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Di era globalisasi di mana banyak tempat menjadi semakin serupa, keunikan budaya menjadi aset yang tak ternilai. Museum Sang Nila Utama, dengan kekayaan koleksi dan narasinya, menawarkan sesuatu yang tidak bisa ditemukan di tempat lain: jendela ke jiwa Riau. Dengan visi yang jelas dan eksekusi yang tepat, museum ini dapat menjadi bukti nyata bahwa menjaga masa lalu tidak berarti terjebak di dalamnya. Sebaliknya, dengan memahami dan menghargai warisan kita, kita dapat membangun masa depan yang lebih cerah, di mana kemakmuran ekonomi dan kekayaan budaya berjalan beriringan, saling menguatkan dalam harmoni yang indah.
Daftar Pustaka
Ardiwidjaja, R. (2018). Arkeowisata: Mengembangkan Pariwisata di Situs dan Kawasan Cagar Budaya. Deepublish. https://books.google.co.id/books/about/Arkeowisata_Mengembangkan_Daya_Tarik_Pel.html?id=GahcDwAAQBAJ&redir_esc=y
Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. (2021). Riau Dalam Angka 2021. Diakses dari https://kepri.bps.go.id/publication/2021/02/26/d47a0dd4be14c20f6b2c5f66/provinsi-kepulauan-riau-dalam-angka-2021.html
ICOM. (2019). ICOM Kyoto 2019 Report. International Council of Museums. https://icom.museum/wp-content/uploads/2020/03/EN_ICOM2019_FinalReport_200318_website.pdf
Yoeti, O. A. (2016). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN: 978-602-229-038-4. https://elibrary.bsi.ac.id/readbook/206371/perencanaan-dan-pengembangan-pariwisata
*) Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Riau
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kopinspirasi.com
**) Ikuti artikel terbaru  lainnya di Google NewsÂ
Discussion about this post