Judul: Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Penulis: Yulianti Muthmainnah
Penerbit: Qaf
Terbit: Cet. II, November 2021
Tebal: 300 halaman, ISBN: 978-602-5547-93-5
Peresensi: Fathur Roziqin*)
Terlampau banyak kita saksikan di media massa dalam beberapa tahun terakhir penindasan manusia atas manusia, penindasan penguasa atas rakyat jelata, pelecehan manusia atas manusia lainnya, hingga korban-korban tersebut kehilangan hak atas hidupnya, kehilangan semangat menjalani hidup karena merasa dirinya tertindas oleh manusia lain.
Kiranya saya tidak perlu memaparkan data-data berapa banyak pelecehan seksual dalam satu tahun terakhir; sebab data-data dan berita-berita tersebut bisa dengan mudah kita temui. Pun juga kasus penindasan penguasa (bisa pemerintah, pengusaha yang rakus, dst) atas rakyat jelata, juga terlampau mudah kita temui.
Apa sebab hal-hal tak terlihat dari fenomena problem sosial tersebut? Salah satunya adalah faktor dominasi materi antara yang kaya dan yang miskin, sehingga yang “kelebihan materi” bisa menguasai pada yang “kekurangan materi”, alih-alih memanusiakan manusia, disadari atau tidak, bahwa skruktur sosial membuktikan penyataan dan kenyataan ini.
Lalu bagaimana peran Islam terkait penindasan manusia atas manusia; dalam konteks ini peran ajaran zakat yang dianggap banyak Muslim sebagai solusi problem sosial, problem kemanusiaan, sebagai agama rahmatan?
Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta, melalui bukunya, Zakat untuk Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, menyajikan gagasan penting terkait pentingnya gerakan zakat untuk pemberdayaan manusia—terutama perempuan yang sering mengalami pelecehan seksual.
Pada dasarnya bentuk pelecehan seksual jelas tak hanya menimpa satu gender semata, pelecehan tersebut bisa menimpa siapa saja. Oleh sebab itu, mestinya kasus pelecehan itu turut jadi perhatian lembaga keagamaan, katakanlah lembaga pengelola zakat, melalui program-program progresif yang bisa menganggat harkat martabat manusia dari korban pelecehan tersebut.
Fakta bahwa proigram-program pemberdayaan perempuan maupun upaya untuk mempromosikan ‘keadilan dan kesetaraan gender masih perlu dukungan kuat dari komunitas keagamaan dan hal tersebut jelas membutuhkan topangan dana kemanusiaan. Maka dari itu, zakat merupakan pintu masuk untuk mengadvokasi gerakan keadilan dan kesetaran di mata masyarakat.
Sebagaimana definisinya, bahwa zakat memiliki tiga dimensi yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Pertama, zakat sebagai pembersih (kotoran) jiwa (tazkiyatun nafs). Definisi konteks ini, zakat diartikulasikan sebagai ajaran yang bermuatan teologis untuk membuktikan keimanan seseorang dihadapan Tuhan.
Dikatakan bermuatan teologis karena kewajiban zakat sebagai rukun Islam merupakan sarana pensucian jiwa dari perbuatan tercela manusia yang kerapkali tampil rakus dan sering kali lupa siapa pemberi nikmat harta tersebut; sehingga orang yang enggan membayar zakat dikecam langsung oleh alquran dengan sangat keras (lihat: QS Al-Humazah: 1-4, QS Ali Imran: 180, dan sebagainya ), sementara bagi yang mematuhi perintah zakat justru dipuji langsung oleh Allah dalam firman-Nya (lihat: QS Al-Anfal: 28, QS At-Taubah: 103).
Kedua, zakat sebagai pembersih (kotoran) harta (tazkiyatul mall). Seturut dengan definisi yang pertama, pada konteks definis ini zakat juga berdimensi sosial-ekonomi yang menjadi bukti bahwa ajaran Islam menaruh perhatian lebih kepada orang yang kekurangan secara materi; maka dengan ajaran zakat ini, seseorang yang memiliki kelebihan harta disadarkan-sekaligus-diwajibkan oleh Islam bahwa sebagian dari hartanya ada hak orang lain, dan wajib dikeluarkan-bersihkan.
Ketiga, zakat sebagai (tazkiyatul musykilah) cara mengatasi problem kemanusiaan—yang kerapkali kita temui—di tengah masyarakat. Setelah zakat didefinisikan dan ditunaikan oleh umat Muslim, giliran zakat berada di tangan amil (petugas zakat), dan dana zakat wajib didistrubusikan kepada delapan asnaf: fakir-miskin, amil zakat, muallaf, riqab, gharimin, fi sabilillah, dan ibnu sabil.
Namun, muncul persoalan bagaimana zakat akan mampu mengatasi problem sosial—seperti disebutkan contoh kasus di atas—manakala pemaknaan delapan asnaf masih mengacu pada literal-teks, sehingga sulit dana zakat menukik ke yang paling berhak dalam konteks problem sosial saat ini. Persoalan demikian inilah kemudian pemaknaan asnaf zakat perlu-ditafsir ulang sehingga akan tampak alquran mampu menjawab tantangan zaman.
Misalnya, sudah banyak orang membayar zakat, tapi mengapa dengan zakat tersebut belum mampu menjawab problem sosial. Dalam konteks ini, menurut Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu, barangkali ada problem alokasi dana zakat dan salah dalam pendistribusiannya (hlm, 32).
Untuk menjawab problem tersebut, penulis buku ini memberi definisi dan pemaknaan baru mengenai delapan asnaf zakat berikut alokasi dana zakatnya. Bahwa zakat bisa didistribusikan kepada orang yang mengalami korban pelecehan seksual. Argumennya adalah melalui, salah satunya, pemaknaan riqâb di antara penerima zakat tersebut (baca: delapan asnaf).
Menurut Muthmainnah, definisi riqab (dahulu) sebagai orang yang mengalami perbudakan harus diperluas. Misalnya riqab dalam definitif masa kini adalah eksploitasi terhadap manusia, pelanggaran hak asasi manusia, pelecehan terhadap manusia, maka korban-korban tersebut termasuk golongan yang berhak menerima zakat (hlm. 206).
Pemaknaan riqâb demikian jelas bahwa zakat tidak hanya berhenti pada pensucian jiwa, pensucian harta muzakki (pembayar zakat), melainkan menukik ke jantung persoalan masa kini, yaitu zakat turut serta sebagai cara mengatasi problem sosial (tazkiyatul musykilah)—melalui penafsiran kontekstual tersebut.
Penafsiran ulang demikianlah yang dibutuhkan saat ini untuk menjawab tantangan zaman. Dengan demikian, ujar-ujar bahwa alquran selalu relevan setiap zaman dan mampu merespon segala ruang dan waktu, maka upaya penafsiran ulang (reinterpetasi) seperti yang dilakukan Muthmainnah ini menjadi angin segar peranan zakat terhadap tantangan masa depan.
Seperti yang diajukan Muthmainnah, bahwa zakat dalam konteks ini, melalui penafsiran ulangnya terhadap makna riqâb, boleh didistrubusikan kepada korban pelecehan seksual, yang kian hari kian marak. Semoga korban mendapat keadilan dan pertolongan dengan ajaran kemanusian ini: zakat.
***
*) Penulis adalah Mahasiswa biasa yang suka curhat di sini: https://fathur-roziqin.blogspot.com
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kopinspirasi.com
**) Ikuti artikel terbaru lainnya di Google News
Discussion about this post