kopinspirasi.com – Kirab budaya peringatan kedatangan Sam Poo Tay Djien atau yang populer dengan nama Laksamana Cheng Ho di Semarang tidak hanya menjadi agenda budaya tahunan yang dinanti, tetapi juga menyimpan kisah-kisah humanis yang jarang terungkap. Salah satunya adalah Bhe Kun sang pengawal dan perawat kuda Cheng Ho dalam iring-iringan kirab.
Buku terbaru berjudul “Bhe Kun: Penjaga Harmoni Kirab Cheng Ho” karya Dr. Listyo Yuwanto, mengupas nilai-nilai dasar manusia yang hidup dalam tradisi ini. Dr. Listyo Yuwanto adalah psikolog, akademisi, dan peneliti psikologi budaya yang fokus pada studi hubungan antaretnis dan tradisi lokal. Karyanya kerap mengangkat isu multikulturalisme dengan pendekatan psikologis.
Buku Bhe Kun: Penjaga Harmoni Kirab Cheng Ho ditulis dengan metode etnopsikologi berdasarkan pengalaman langsung selama beberapa tahun mengikuti Kirab Budaya Cheng Ho, wawancara mendalam, dan analisis konten budaya. Kajiannya meliputi asal-usul Bhe Kun dari pengawal kuda Cheng Ho hingga ikon budaya Semarang. Analisis 10 Nilai Dasar Insani (tradition, benevolence, universalism, dll) dalam ritual Bhe Kun. Dokumentasi visual prosesi kirab. Refleksi Gagrak Semarangan harmoni multikultural khas Semarang. “Bhe Kun sering dilihat sekadar sebagai simbol historis, tetapi sejatinya, ia mewakili nilai-nilai dasar manusia seperti kesetiaan, kerukunan, dan tanggung jawab nilai yang relevan dari masa Cheng Ho hingga kini,” tegas Dr. Listyo.
Dr. Listyo banyak mendapatkan dukungan dalam penyelesaian buku dari teman-teman Klenteng Tay Kak Sie Semarang dan Klenteng Hian Thian Siang Tee Welahan yang tidak berkenan disebut namanya. Juga Sulthan Rasyid yang membantu proses dokumentasi dan Kristianto Batuadji, nama terakhir yang memperkenalkan tradisi Bhe Kun kepada Dr. Listyo di tahun 2015.
Di tengah tantangan global akan polarisasi sosial dan krisis identitas, buku ini menawarkan perspektif tentang bagaimana tradisi lokal seperti Kirab Cheng Ho bisa menjadi model hidup harmonis. Buku ini ditujukan untuk akademisi, pegiat multikulturalisme dan pelestarian tradisi, serta masyarakat umum yang ingin memahami akar kerukunan Semarang.