Oleh: Ana Magfiroh*)
Pemukulan istri oleh suami adalah tindakan yang buruk (mafsadat), bahkan bisa berbahaya (madlarat), apalagi jika disertai pembantingan tubuh istri dan pencekikan. Sayang sekali, dari seringnya hal ini terjadi pemukulan istri acap kali dianggap sebagai sesuatu yang wajar dilakukan oleh suami atas istri yang tidak menurut, lebih-lebih jika tujuannya adalah mendidik istri. Di sebuah masyarakat yang mewajarkan suami memukul istri, siapakah sesungguhnya yang perlu dididik dalam kacamata Islam?
Sejarah Penistaan Perempuan
Peradaban manusia diwarnai dengan penistaan ekstrim atas kemanusiaan perempuan di berbagai bangsa. Perempuan rentan mengalaminya di setiap tahap kehidupan bisa berlapis-lapis dan berulang-ulang. Saat lahir, bayi perempuan rentan dikubur hidup-hidup karena dianggap memalukan, sebagaimana yang sudah tercatat dalam sejarah; terjadi di Jazirah Arabia pada masa lampau. menstruasi dianggapnya kutukan sehingga perempuan seringkali mengalami pengusiran, pengasingan ke tempat yang sepi seperti gua, atau dikurung di ruang sempit dan tertutup agar bahaya kutukan tidak kemana-mana.
Perempuan juga rentan mengalami infibulasi yakni pemotongan alat vagina bagian luar secara menyeluruh kemudian bagian kanan kirinya menyatu hanya disisakan luang sekecil pentul korek untuk pipis, sebagaimana terjadi di Afrika. Perempuan juga rentan sewaktu-waktu diperkosa oleh kerabat laki-laki maupun orang lain, hingga kerentanan mengalami pembakaran hidup-hidup bersama jenazah suami yang diremasi (Sati) sebagaimana terjadi di India.
Perempuan selama berabad-abad lamanya tidak dianggap sebagai manusia, melainkan sebagai harta/benda yang dimiliki laki-laki. Lahir sebagai milik ayah, menikah sebagai milik suami, dan ketika suami meninggal mereka diwariskan pada anak dan kerabat laki-laki. Laki-laki yang menjadi pemilik perempuan dianggap normal dan wajar untuk melakukan tindakan apapun yang mereka mau, termasuk mengeksploitasi secara fisik, mental, begitu juga dengan seksual. Bahkan laki-laki bisa menghadiahkan, menjadikan sebagai jaminan hutang dan menjual perempuan yang dimilikinya.
Pemanusiaan Islam atas Perempuan
Kezaliman termasuk penistaan atas kemanusiaan perempuan, berakar pada cara pandang yang melahirkan mental model lalu perilaku yang zalim. Cara pandang atas perempuan sebagai harta atau benda pun dikoreksi oleh Islam dengan menegaskan kemanusiaan terhadap perempuan. Hal ini berarti bahwa lakil-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia sehingga sama-sama mesti bersikap manusiawi dan diperlakukan secara manusiawi pula. Tidak berlaku sewenang-wenang terhadap Perempuan hanya karena menjadi Perempuan. Pun juga sebaliknya.
Islam membangun cara pandang dan kesadaran baru bahwa sebagai laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan:
- Sama-sama memiliki status melekat sebagai hanya hamba Allah sehingga tidak boleh membangun relasi penghambaan satu sama lain kecuali menghamba pada Allah;
- Sama-sama mengemban amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl sehingga sama-sama menggenggam tanggungjawab untuk mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya dan mencegah kemunkaran sekaligus dilindungi darinya di mana pun berada di muka bumi baik di dalam maupun di luar rumah;
- Sama-sama makhluk yang diberkahi berakal dan berhati nurani, sehingga laki-laki dan perempuan sama-sama makhluk intelektual dan spiritual yang nilainya tergantung pada sejauh mana menggunakan akal budinya untuk memastikan setiap tindakan berdampak maslahat bagi diri dan pihak lain sehingga mampu menjadi bagian dari anugerah Islam atas semesta.
Islam juga mengoreksi cara pandang bahwa Sayyidah Hawa As adalah biang keladi atas terusirnya nabi Adam As ke muka bumi yang melahirkan cara pandang bahwa perempuan adalah sumber fitnah dan bahwa sakitnya perempuan saat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui adalah sebuah kutukan. Bukan Sayyidah Hawa As yang menggoda Nabi Adam As, melainkan syaitan yang menggoda keduanya (Qs. al-Baqarah, 2:36), syaithan pun tidak menggoda melalui Sayyidah Hawa, melainkan langsung pada Nabi Adam As (Qs. Thaha, 20:120), perempuan pun bukanlah satu-satunya manusia yang mungkin menjadi sumber fitnah karena laki-laki dan perempuan sama-sama diberi potensi berbuat buruk sehingga menjadi sumber fitnah sekaligus potensi berbuat baik sehingga menjadi sumber anugerah (Qs. Asy-Syams, 91:8). Siapapun itu, baik laki-laki dan perempuan yang berbuat buruk dialah yang menjadi sumber fitnah!
Pemanusiaan Islam atas Istri
Kezaliman yang terjadi pada istri dalam perkawinan juga berakar pada cara pandang atas perkawinan dan kedudukan istri. Sejalan dengan pemanusiaan Islam atas perempuan, maka Islam juga membimbing manusia untuk membangun cara pandang atas perkawinan dan kedudukan suami dan istri yang adil.
Perkawinan dan kekeluargaan dalam Islam mesti sejalan dengan tujuan Islam yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Karenanya Islam menuntun untuk membangun kesadaran baru bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan ketenangan jiwa (sakinah) semua pihak sehingga memampukan semua pihak untuk bisa kembali memampukan semua pihak untuk bisa kembali pada Allah SWT sebagai jiwa-jiwa yang tenang (an-Nafsul Muthmainnah).
Perkawinan bukan melunturkan, bahkan sebaliknya mesti memperkuat komitmen Tauhid masing-masing pihak kepada Allah dan semua pihak bekerjasama untuk membuktikan komitmen tersebut dengan mewujudkan kemaslahatan di dalam keluarga dan kemaslahatan untuk semesta. Suami dan istri juga kelak orang tua dan anak mesti ikhtiyar bersama untuk membangun relasi atas dasar saling cinta kasih (mawaddah wa rahmah) yang menguatkan, bukan cinta toxic yang melemahkan. Islam menuntun kita untuk menjalani perkawinan dan keluarga dengan lima prinsip yang perlu dipegang erat-erat dalam menghadapi perubahan-perubahan dahsyat yang mungkin terjadi, yaitu:
- Zawaj: sama-sama bepandangan bahwa suami dan istri adalah pasangan, bukan atasan dan bawahan, apalagi pemilik dan yang dimiliki;
- Mitsagan Ghalidlan: sama-sama meyakini bahwa perkawinan adalah janji kokoh antara mereka dengan Allah sehingga tidak ada unsur permainan dalam perkawinan, baik itu mempermainkan suami atau istri. Mempermainkan perkawinan sama saja dengan mempermainkan janji kepada Allah;
- Mu’asyarah bil-Ma’ruf: sama-sama berikhtiyar untuk saling bergaul secara bermartabat sebagai makhluk yang berakal budi, termasuk dalam makhluk yang berbudi pekerti baik, termasuk juga dalam bereproduksi;
- Musyawarah: ikhtiyar bersama-sama dalam menghadapi dan mengatasi persoalan yang dijumpai dalam perkawinan dan keluarga tidak mentitik beratkan pada salah satu pihak;
- Taradlin: sama-sama menjaga saling rela dengan suami/istri karena ridla Allah pada mereka sangat tergantung pada ridla suami/istri. dan ridla Allah pada suami dan istri hanyalah dalam kebaikan bersama, kemaslahatan bersama.
Al-Qur’an sebagai Sistem dan Proses
Untuk me-naukidi kembali terdahap kemanusiaan laki-laki dan perempuan dan perkawinan yang dicita-citakan oleh Islam tentu memerlukan proses panjang untuk bisa mengendap di alam bawah sadar manusia sehingga menjadi kesadaran yang umum. Lebih-lebih Islam hadir di sebuah masyarakat yang pada umumnya masih memperlakukan perempuan sebagai harta bendanya laki-laki. Pemukulan istri secara sosial masih dipandang sebagai sesuatu normal dan wajar. Jangankan memukul istri, menjadikan istri sebagai jaminan hutang, hadiah, harta yang diwariskan, bahkan menjualnya pun masih diwajarkan.
Selama 23 tahun masa pewahyuan, al-Qur’an telah terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan, baik terkait dengan kesadaran kemanusiaan secara umum, maupun kesadaran kemanusiaan perempuan, termasuk sebagai istri secara khusus. Islam telah memberikan arah, dan prinsip dasar dalam menjalani kehidupan sebagai manusia, maupun kehidupan perkawinan sebagai suami istri.
Selama 23 tahun pula Islam memberikan contoh bagaimana berproses sesuai dengan kemampuan masyarakat waktu itu untuk mengubah perempuan yang semula didudukkan sebagai objek hingga menjadi subjek dalam sistem kehidupan, termasuk perkawinan. Misalnya pergerakan posisi perempuan dalam sistem waris. Semula perempuan, baik sebagai ibu, istri, anak, saudara, bibi, dll. dipandang sebagai harta yang menjadi objek waris. Islam melakukan pergerakan dahsyat sebagai berikut:
- Melarang keras menjadikan perempuan sebagai harta yang diwariskan apalagi dengan pemaksaan;
- Menjamin bagian anak perempuan dan istri langsung 50% dari bagian anak laki-laki dan oleh laki-laki pada sesama laki-laki hingga perempuan menjadi subjek yang juga bisa memberikan warisan pada laki-laki! Perubahan ini terjadi pada abad 7 M, sementara Inggris baru membatalkan UU yang membolehkan suami menjual istrinya pada awal abad 19, atau 12 abad setelahnya, dan di akhir abad tersebut baru mengakui perempuan bisa memiliki harta.
Al-Qur’an semestinya dilihat sebagai sebuah sistem dan proses agar terhindar dari menjadikannya sebagai legitimasi atas tindakan kezaliman yang sesungguhnya menjadi musuh utama Islam. Sebagai sebuah proses, keseluruhan ayat al-Qur’an mesti dilihat sebagai satu kesatuan yang terjalin berkelindan. Ibarat sebuah puzzle, ayat al-Qur’an yang dipahami secara parsial punya resiko mengaburkan pesan utama, bahkan bisa mengesankan sesuatu yang bertentangan dengannya. Sehingga perlu untuk ditelisik kembali terhadap penafsiran ayat Al-Qur’an yang memang memiliki tingkat kesastraan Dan Keartistikan yang tinggi.
Sebagai sebuah sistem, setidaknya ada 3 jenis ayat yang tersusun secara hirarkis:
- Ayat-ayat tentang Misi yang menduduki tingkatan tertinggi karena memberi petunjuk tentang arah dalam berproses menjadi Muslim/ Muslimah yang kaffah. Misalnya ayat tentang misi Islam untuk menjadi anugerah bagi semesta (Qs. al-Anbiya, 21:107), maka berislam dan perkawinan/ keluarga yang islami mesti diarahkan pada ikhtiyar untuk menjadi bagian dari anugerah Islam atas semesta.
- Ayat-ayat tentang Fondasi Moral yang menduduki tingkatan menengah. Ini adalah ayatayat tentang prinsip dan nilai dasar dalam Islam, baik di bidang aqidah, akhlak, maupun lainnya yang menjiwai keseluruhan ayat dalam al-Qur’an; Misalnya ayat tentang Tauhid (al. Qs. Al-Ikhlas), Taqwa (al. Qs. Al-Hujurat, 49:13), keadilan (al. Qs. al-Maidah, 5:8), juga ayat-ayat tentang ketenangan jiwa, kasih sayang, keselamatan, kesehatan, keamanan, perdamaian, pelestarian alam, kasih sayang, dan aneka prinsip dan nilai kebajikan lainnya, yang tidak terpengaruh oleh konteks sosial waktu itu;
- Ayat-ayat tentang cara yang menduduki tingkatan terendah. Ini adalah ayat-ayat tentang petunjuk praktis pragmatis untuk bergerak menuju kehidupan yang menjadi misi Islam berdasarkan pondasi moral-nya dengan mempertimbangkan konteks sosial dan kemampuan masyarakat waktu itu. Misalnya ayat tentang peperangan, perbudakan, poligami, pembagian waris, nilai kesaksian perempuan, pemukulan istri, dll.
Prinsip dasar dalam melihat al-Qur’an sebagai sebuah sistem adalah ayat tentang misi dan pondasi moral ini bersifat universal dan tidak terikat oleh ruang dan waktu sehingga berlaku prinsip al-Ibrotu bi Umumil Lafdzi Pesan literal mesti diterapkan kapan dan di mana saja. Sebaliknya ayat tentang cara karena terkait erat dengan situasi waktu itu, maka berlaku prinsip al Ibratu bi Khususis Sabab. Ayat ini juga berlaku di mana saja dan kapan saja selagi konteksnya serupa dan selagi perubahan sosial tidak menyebabkan pemahaman literalnya menjadi bertentangan dengan Fondasi Moral yang menjiwainya dan dengan misi yang menjadi arah petunjuk al-Qur’an. Di samping sebagai sebuah sistem, al-Qur’an juga mesti dilihat sebagai rekaman proses perubahan sebagaimana ditunjukkan pada sistem pembagian waris yang telah dijelaskan. Secara umum, sebagai sebuah proses kita bisa melihat 3 jenis ayat di dalam al-Qur’an:
- Tititk Berangkat, adalah ayat yang merefleksikan cara pandang dan kondisi masyarakat Arab yang akan diubah selama masa pewahyuan. Cirinya meletakkan perempuan sebagaiobjek dan laki-laki sebagai subjek tunggal. Contohnya adalah ayat tentang bidadari surga yang bertebaran di banyak ayat. Cara pandang tentang perempuan sebagai bidadari surga merefleksikan imajinasi tertinggi masyarakat Arab tentang puncak kebahagiaan yang masih sangat materiil karena kesadaran spirituilnya belum tumbuh
- Target Antara, adalah ayat yang merefleksikan titik kompromi antara kondisi riil masyarakat yang secara umum masih melihat dan memperlakukan perempuan sebagai benda/ objek, dengan cita-cita Islam yang mendudukkan laki-laki dan perempuan sebagai manusia utuh dan subjek penuh. Ayat ini merefleksikan cara pandang penuh. Ayat ini merefleksikan cara pandang bahwa laki-laki adalah subjek primer sementara perempuan adalah subjek sekunder. Ciri yang paling mudah dikenali adalah nilai perempuan hanya seper sekian dari laki-laki. Misalnya ayat tentang poligami, bagian warisan anak perempuan dan istri, dan nilai kesaksian perempuan dalam utang-piutang.
- Tujuan Final, adalah ayat yang merefleksikan kemanusiaan laki-laki dan perempuan yang dicita-citakan oleh Islam, yakni sama-sama makhluk yang berakal budi sehingga keduanya sama-sama didudukkan sebagai manusia utuh dan subjek penuh. Contohnya adalah semua ayat tentang misi dan pondasi moral. Juga ayat tentang monogami yang adil (Qs. anNisa/4:3), ayat tentang bagian waris laki-laki dan perempuan yang sama persis, dan nilai kesaksian perempuan dalam sumpah li’an yang sama dengan laki-laki. Kedua contoh terakhir menunjukkan bahwa alat kelamin yang tetap tidak menjadikan bagian waris dan nilai kesaksian tetap.
Prinsip dasar dalam melihat al-Qur’an sebagai sebuah proses adalah berislam mesti terus bergerak menuju kesadaran kemanusiaan dan sistem kehidupan, termasuk perkawinan dan keluarga yang menjadi anugerah bagi semesta, termasuk bagi perempuan, dengan mempertimbangkan kondisi yang ada Jika kita masih berada di Titik Berangkat (masyarakat yang masih melihat perempuan sebagai benda).
Berislam adalah ikhtiyar semampu kita untuk berislam adalah ikhtiyar semampu kita untuk bergerak menuju tujuan final, yang mungkin kadang perlu melewati target antara. Namun jika kita sudah sampai di target antara, maka kita mesti terus bergerak ke tujuan final, tidak sebaliknya ke titik berangkat. Jika kita sudah mendekati Tujuan Final, maka berislam adalah terus bergerak menuju Tujuan Final, jangan sebaliknya menuju Target Antara apalagi Titik Berangkat.
Memukul Istri
Mari kita lihat ayat yang kerap dipahami sebagai pembolehan suami memukul istri, sehingga menjadi hambatan teologis cukup kuat untuk mewujudkan sistem perkawinan dan keluarga Nur Kekerasan, yaitu Qs. An-Nisa/3:34:
“…. Para isteri yang kalian khawatirkan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan)….”
Ayat ini turun di sebuah masyarakat yang masih mempunyai tradisi penguburan bayi perempuan hidup-hidup, menjadikan perempuan sebagai harta warisan, membolehkan laki-laki mempunyai istri dalam jumlah tak terbatas dan tanpa syarat istri dalam jumlah tak terbatas dan tanpa syarat adil, mewajarkan persetubuhan bahkan perkosaan inses, sehinggga memukul istri, yang dicurigai selingkuh, bahkan tanpa alasan pun secara umum dipandang wajar.
Jadi titik berangkat-nya adalah kondisi di mana main pukul pada istri, bahkan kezaliman yang lebih menistakan kemanusiaan perempuan, masih dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sehingga munculnya pesan berilah nasehat (untuk hati-hati dengan tindakan yang bisa memicu rusaknya komitmen perkawinan), dan pisah ranjang, sebelum memukul merupakan ikhtiyar untuk menghindari pemukulan atau tidak main pukul. Apalagi bagian setelahnya menegaskan bahwa jika istri taat pd komitmen perkawinan dengan suami, dalam arti nusyuz yang dikhawatirkan itu tidak terbukti, maka suami dilarang cari-cari alasan untuk memukul istri.
Jika dihubungkan dengan misi dan pondasi moral, Islam secara umum, juga dengan ketenangan jiwa sebagaj tujuan perkawinan, cinta kasih sebagai basis relasi suami-istri, dan zawaj, mitsaqan ghalidlan, muasyarah bil ma’ruf, musyawarah, dan taradlin sebagau prinsip dasar perkawinan dalam Islam, maka kita bisa menyimpulkan:
- Ayat tentang pemukulan istri dalam al-Qur’an sebagai sebuah sistem adalah ayat tentang cara yang mesti dipertimbangkan dampak penerapannya secara tekstual pada saat ini. Yakni, apakah tindakan tersebut memudahkan masyarakat untuk mewujudkan sistem perkawinan yang menjadi anugerah bagi semesta termasuk bagi istri, atau sebaliknya menyulitkan. Hal ini serupa dengan ayatayat tentang perang yang dalam penerapan tekstualnya pada saat ini mesti mempertimbangkan apakah akan mendekatkan atau sebaliknya menjauhkan dari misi Islam untuk menjadi anugerah bagi semesta.
- Ayat tentang pemukulan istri dalam al-Qur’an sebagai Proses adalah ayat tentang target antara dari kondisi yang mewajarkan memukul istri tanpa alasan menuju kondisi perkawinan yang menenangkan semua pihak yang meniscayakan nur kekerasan termasuk pemukulan istri. Karena itu, ketika masyarakat sudah punya kesadaran tentang bahaya kekerasan fisik, bahkan sudah memiliki UU PKDRT, maka mestinya masyarakat terus didorong menuju perkawinan yang memampukan suami-istri untuk bergaul secara bermartabat, bukan sebaliknya didorong untuk kembali ke target antara yang masih mentolelir pemukulan istri, apalagi ke Titik Berangkat yang menormalkan pemukulan istri tanpa alasan.
Sebagai kesimpulan bahwa spirit ayat ini bukan untuk membolehkan melainkan semampunya menghindari pemukulan istri sesungguhnya didukung pula oleh banyak hadis Rasulullah Saw., yang melarang memukul istri. Salah satunya: “Janganlah seseorang di antara kamu memukul istri layaknya memukul hamba sahaya, padahal ia (para suami) menggauli (istri)-nya di ujung hari”. )) (para suami) menggauli (istri)-nya di ujung hari”. (HR Bukhari). Sayyidah Aisyah Ra juga memberikan kesaksian bahwa Rasulullah Saw tidak sekalipun memukul istrinya. Para ulama juga menekankan tidak bolehnya memukul muka maupun pemukulan yang melukai. Bahkan Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, berpendapat bahwa pemerintah dibenarkan untuk menghentikan pemukulan istri yang dilakukan oleh masyarakat, bahkan memberikan sanksi hukuman pada pelakunya.
***
*) Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Sosial dan Humaniora, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Nurul Jadid.
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kopinspirasi.com
**) Ikuti artikel terbaru Kopinspirasi di Google News dengan cara klik link ini dan jangan lupa difollow.