Sastra

OPPUI…

Redaksi
×

OPPUI…

Sebarkan artikel ini
WhatsApp Image 2025-12-10 at 09.49.12
Ilustrasi - OPPUI

Penulis : Muttaqin Kholis Ali*)

Konon, jauh sebelum desa Garoga mengenal listrik dan poster-poster kampanye yang wajahnya mudah dilupakan, orang-orang tua dahulu selalu mengingatkan: “Jangan masuk jauh ke hutan. Di sana ada sosok Oppui, roh leluhur berwujud harimau besar yang sejak entah kapan sudah mendiami hutan Garoga. Bila manusia berbuat hal yang memalukan, Gadis hamil tanpa suami atau anak durhaka melawan orangtuanya, Oppui turun sebagai sang juru adil.”

Tak ada yang berani membantah petuah itu, kecuali Zupri.

Zupri, lelaki tanpa karya dan tanpa prestasi, pandainya hanya bersilat lidah dan mengahmburkan warisan ayahnya yang dulu Harajaon, tiba-tiba menjelma menjadi Kepala Desa Garoga setelah sekawanan anak muda yang dipengaruhi Porsea, pembual bermulut busuk yang tidak paham apa-apa kecuali cara menjilat menyebut Zupri sebagai “pemimpin masa depan”. Mereka berdua adalah pasangan yang tak terpisahkan: satu suka berlagak paling tahu, satu lagi memang tak tahu apa-apa.

Ketika PT Sejahtera Sian Mulana PT SSM yang datang membawa proposal tebal dan janji-janji sejahtera menyodorkan kerja sama untuk membuka perkebunan kertas dan sawit, Zupri bangkit berdiri, menggertakkan jarinya, dan berkata angkuh, “Ini kesempatan emas! Hutan tidak menghasilkan uang. Tanah kalian menghasilkan uang!”

Muklis, pemuda kampung yang sempat mengenyam Pendidikan sampai bangku SMP satu atap dan dianggap salah seorang pemuda bijak tapi miskin di desa itu, mencoba menahan:

“Zupri, Porsea… hutan yang gundul tidak bisa kita kembalikan ke ekosistem awal.”

Porsea tergelak mencibir, tangannya mengepal di pinggang.

“Ekosistem? Apa pentingnya kembali ke ekosistem awal? Hutan itu kayu, kayu itu duit!” Dasar kamu ini Wahabi, entah apa hubungan antara kerusakan hutan dengan Wahabisme, tapi ia tetap tertawa seakan paham segalanya.

Zupri menepuk bahu Porsea sambil meniru gaya orang kota. “Benar! Kita ini manusia modern bukan penunggu pohon.”

Dan seketika, petuah orang tua dianggap cerita konyol zaman batu.

Hari-hari selanjutnya menjadi hari-hari penuh deru mesin. Gergaji berteriak panjang, memecah udara, menyayat batang-batang yang telah ratusan tahun tegak sebagai penjaga lembah. Warga yang semula ragu mulai ikut-ikutan menandatangani surat penjualan lahan.

“Cepat sekali dapat uang,” kata mereka, sebagian sembari tertawa, sebagian lagi sembari menenggak arak murah yang dibawa Porsea.

Ketika batang pohon pertama tumbang, suara itu seperti menggelegar sampai ke dasar tanah. Orang-orang yang masih menyimpan sedikit rasa takut kepada Oppui sempat menengadah, tapi cepat-cepat menurunkan wajah takut ditertawakan Porsea yang selalu mencibir kepercayaan desa.

Pada suatu sore yang kelabu, Muklis melihat seekor orangutan betina duduk di pangkal pohon yang separuh batangnya sudah tergorok gergaji. Lengannya memeluk erat bayinya. Mata orangutan itu basah dan menetes pelan, seperti memahami bahwa rumahnya sudah dijatuhi hukuman mati. Ketika para pekerja PT SSM mendekat sambil tertawa, orangutan itu menunduk, memeluk bayinya lebih erat, sebelum merayap perlahan menjauh dengan kepasrahan yang menusuk hati.

Tak lama setelah itu, kawanan gajah yang sejak dahulu menjadi penjelajah hutan Garoga muncul di ladang jagung. Mereka tidak menyerang mereka hanya berjalan mengikuti jalur yang sejak generasi ke generasi mereka warisi. Tetapi warga yang kini tanahnya dipenuhi tanam paksa perusahaan menganggap kedatangan gajah sebagai bencana. Racun pun ditebar.

Satu per satu gajah itu roboh, dengan mata yang membelalak ke langit, seakan mempertanyakan kesalahan mereka.

Dan, pada musim itu juga, burung-burung hutan Garoga menghilang. Tikus hutan merayap ke rumah-rumah. Babi hutan masuk ke sekolah. Dan desa yang dahulu hijau mulai tampak seperti tengkorak tanah yang kering.

Tapi orang-orang tetap bangga:

“Masyarakat Garoga sekarang kaya!” seru Porsea dari atas panggung pertemuan desa sambil memamerkan sepatu barunya.

Lalu, datanglah hari ketika langit memutuskan tidak lagi bersahabat.

Hujan turun tanpa jeda selama enam hari enam malam. Tanah yang dulu meminum air dengan sabar kini telah telanjang, tak lagi mengingat cara menyangga air. Hutan Garoga, yang dahulu seperti payung raksasa, kini tinggal tunggul-tunggul patah yang menganga.

Pada hari ketujuh, banjir bandang turun bersama batang-batang pohon raksasa yang diseret dari perut hutan. Air menabrak rumah-rumah seperti tangan raksasa yang tak lagi menahan amarah.
Mobil-mobil terjun ke parit, dan banyak keluarga terjebak di dalamnya tak sempat melarikan diri. Desa yang dahulu disebut kampung damai berubah menjadi kota mati. Kota zombie, kata sebagian orang.

Muklis, menyaksikan itu semua dari dataran tinggi, berlari menerobos air yang mengamuk. Tubuhnya berkali-kali terseret batang kayu, tapi ia tetap maju. Ia menemukan bayi Saidina menangis dalam pelukan ibu yang sudah membeku kedinginan, ayahnya terkapar di sampingnya. Orang-orang mengatakan mereka kelaparan karena bantuan makanan dimonopoli oleh Porsea untuk dibagikan kepada pendukung Zupri. Saidina selamat hanya karena sang ibu memaksa ia menyusu meski tubuhnya sendiri sudah hampir tak bernyawa.

Hujan belum reda ketika kabar menyebar: Zupri dan Porsea menghilang.

Konon, keduanya mencoba menenangkan massa yang marah. Tetapi warga yang kehilangan rumah, kehilangan anak, kehilangan keluarga, kehilangan harapan, menyeret Zupri ke kubangan lumpur di dekat sungai yang meluap.

“Ini semua ulahmu!” teriak seseorang.

“Ini harga pengkhianatanmu!” sahut yang lain.

Muklis yang baru tiba hanya sempat melihat kerumunan itu bubar ketika sungai semakin mengamuk. Zupri sudah tidak terlihat. Ada yang mengatakan ia tenggelam. Ada yang mengatakan Porsea kabur duluan, meninggalkan majikannya. Ada pula yang berbisik lirih,

“Oppui datang malam itu. Ada jejak harimau mengitari kubangan sebelum hujan besar menyapu semua.”

Tidak ada kepastian. Tidak harus ada.

Beberapa hari setelah banjir, relawan-relawan dari luar desa datang membawa makanan dan obat-obatan. Mereka bekerja siang dan malam. Ironisnya, para pejabat kabupaten yang sebelumnya begitu suka berfoto di depan papan proyek panik dan lari ke ibu kota provinsi, takut masyarakat menuntut mereka.

Muklis menggendong Saidina setiap hari, menenangkannya ketika malam-malam tiba dan suara batang pohon terseret arus masih terdengar dari kejauhan. Desa Garoga kini hanyalah puing!
Pada malam keempat belas setelah banjir, seorang tua yang rambutnya putih seluruhnya berdiri di depan sisa-sisa hutan. Angin membawa bau lumpur dan kayu busuk. Ia berbisik pelan:

“Oppui tak pernah marah. Yang marah adalah hutan. Dia hanya menjalankan titahnya.”

Muklis yang mendengar itu mendongak.

Di kejauhan, di antara kabut yang menggantung, ia seperti melihat sepasang mata kuning yang memantulkan cahaya air. Bukan mata manusia. Bukan mata hewan yang ia kenal.
Mata itu menatap dalam, lama, seolah menilai manusia menimbang apakah desa ini layak diberi kesempatan hidup kembali.

Kemudian perlahan-lahan, dari balik kabut, sosok itu menghilang. Atau mungkin kembali ke tempat asalnya.

Entah apa yang terjadi pada Zupri.

Entah apakah Porsea masih hidup.

Entah apakah Oppui benar-benar membawa mereka ke perut hutan, atau hanya membawa cerita ini menuju balasan yang setimpal.

Yang jelas, Garoga kini mengerti apa yang para tetua maksudkan:

Bahwa hutan bukan sekadar pohon, bukan sekadar kayu.

Bahwa hutan punya ingatan.

Dan ingatan itu, sebagaimana manusia yang mengkhianatinya, tidak mudah dilupakan. Saidina, bayi kecil yang ditemukan Muklis itu perlahan mulai tersenyum, Muklis menggenggam erat tangan mungilnya, walau Ia tahu tidak mungkin Saidina paham omongannya, dia tetap berbisik. “Nak.. Suatu saat kamu harus sekolah, jadi orang terpelajar yang berbudi luhur, tidak perlu jadi Pejabat Nak, cukup jadi seseorang yang punya Nurani untuk bisa menjaga Negeri ini”.

Panyabungan, Mandailing Natal, Desember 2025

***

*) Penulis adalah Guru Informatika SMAN 1 Tambangan. Penulis aktif dan peneliti pendidikan).

**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kopinspirasi.com