Penulis : Nazifatul Mardiah*)
Anin tumbuh dalam keluarga yang hangat. Rumahnya selalu riuh dengan tawa, terutama dari ayahnya yang tak pernah kehabisan bahan untuk membuat Anin tertawa bahagia. Ibunya, dengan kelembutan yang tak pernah pudar selalu menemaninya di setiap sudut kehidupan. Setiap kali Anin pulang dari sekolah, ada rasa nyaman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kehangatan itu seperti selimut lembut yang menyelubungi dirinya.
Sejak kecil Anin senang sekali bercerita. Setiap malam sebelum tidur, ia akan duduk di antara ayah dan ibunya. Bercerita tentang apa saja mulai dari teman baru di sekolah, guru yang lucu, atau mimpi-mimpinya yang besar. Ayahnya selalu mendengarkan dengan seksama, lalu menyelipkan nasihat bijak di tengah canda. Ibunya akan tersenyum sambil mengusap lembut rambut Anin, seolah dunia mereka akan selalu begitu: hangat dan utuh.
Ketika Anin memutuskan untuk masuk pesantren saat SMA, ia merasakan jarak yang baru. Tak ada lagi sesi cerita setiap malam, tak ada tawa ayah yang mengiringi ceritanya. Malam-malam penuh cerita berganti sunyi di asrama. Walau begitu, setiap libur ia tetap membawa cerita. Ia akan bercerita tentang teman-temannya di pesantren, pelajaran yang ia dapatkan, dan tentang mimpinya yang semakin besar.
Tapi waktu yang ada begitu singkat dan terlalu cepat berlalu. Setiap kali pulang, ada sesuatu yang berbeda di rumah. Tawa ayahnya tetap hangat, tetapi sorot matanya sedikit pudar. Anin hanya menyadarinya sekelebat, lalu mengabaikannya, sibuk dengan rasa bahagia.
Setelah lulus, ia diterima di Universitas yang jauh dari rumah. Anin semakin jarang pulang. Kuliah, tugas, dan hidup baru di kota perantauan membuatnya tenggelam. Telepon dari rumah pun sering terabaikan, karena ia merasa masih punya banyak waktu.
Ketika sesekali ia menelepon, suaranya tetap ceria, menceritakan prestasi kecilnya, teman-teman barunya, atau sekadar keluhan tentang tugas kuliah. Ayahnya selalu mendengarkan dengan antusias, walau suaranya terdengar semakin lirih.
“Ayah baik-baik saja, kan?” Anin bertanya di suatu malam. Ayahnya tertawa, pelan tapi hangat seperti biasa. “Tentu saja, Nak. Kamu fokus saja di sana. Nanti kalau pulang, kita cerita-cerita lagi.”
Anin tersenyum, lega. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa yang menggelitik, seperti bayangan samar yang tak ingin ia pahami. Dan lagi-lagi, ia terlalu sibuk untuk memikirkannya lebih jauh. Hingga suatu pagi, telepon dari rumah itu datang. Suara ibunya terdengar pelan, hampir tak terdengar.
“Anin, ayah sakit.”
Anin merasa tubuhnya menggigil, seperti seluruh dunianya tiba-tiba terbalik. Ia segera mengepak barang-barangnya dan pulang secepat mungkin. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi rasa takut. Setiap kilometer yang ia lewati, hatinya semakin berat. Ketika ia tiba di rumah, semuanya terasa begitu sunyi. Ayahnya terbaring lemah di atas ranjang. Matanya yang dulu selalu bersinar kini sayu, tubuhnya yang dulu tegap tampak begitu ringkih.
Anin duduk di samping ayahnya, menggenggam tangan yang dulu selalu menggenggamnya dengan kuat. Ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan, tapi semuanya tersangkut di tenggorokan. Ayahnya menatapnya, dengan senyuman tipis di bibir.
“Maaf, Ayah belum sempat mendengar semua ceritamu lagi, Nak.”
Kata-kata itu menusuk Anin lebih dalam daripada yang ia bayangkan. Ia ingin berbicara, tetapi tangis menahannya. Semua kenangan masa kecil, semua tawa yang pernah mereka bagi, mendesak kembali ke permukaan. Anin tak pernah benar-benar menyadari, di balik canda dan tawa ayahnya, ada harapan sederhana: mendengar cerita-cerita Anin lagi. Namun Anin terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, lupa bahwa cinta ayahnya selalu menunggu di rumah, dalam diam yang setia.
Hari itu, Anin kehilangan ayahnya.
Kehilangan itu bukan hanya rasa sakit namun itu seperti ada lubang besar yang merobek hatinya. Rumah yang dulu penuh tawa, kini terasa hampa. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada ayahnya dari kursi tempat ayahnya duduk, hingga halaman belakang tempat mereka sering bercengkrama. Tapi yang paling menyakitkan adalah ruang tamu, tempat Anin dulu bercerita tanpa henti. Kini ruang itu begitu sunyi, dan tidak ada lagi sosok yang mendengarkannya.
Berhari-hari Anin tenggelam dalam penyesalan. Ia merasa telah gagal membalas cinta yang selama ini begitu tulus diberikan. Ia tak sempat membagikan cerita-cerita yang mungkin bisa menjadi penghiburan terakhir bagi ayahnya. Ia menyadari, selama ini ia hidup dalam keberuntungan yang tak pernah ia sadari keberuntungan memiliki orang tua yang selalu ada untuknya, namun ia sering lupa untuk menghargai momen-momen itu.
“Anin,” suara ibunya lembut, memecah keheningan.
Anin menoleh, matanya sembap. “Bu, Anin nggak sempat cerita lagi ke Ayah. Anin terlalu sibuk… terlalu egois. Kenapa Anin nggak lebih sering telpon ke rumah, ngga lebih sering pulang?”
Ibunya menggenggam tangan Anin dengan lembut. “Ayahmu selalu menantikan kabarmu, Nak. Setiap kali kamu menelepon, meskipun hanya sebentar, itu sudah membuatnya sangat bahagia. Dia selalu merasa dekat denganmu, bahkan dari jauh”
“Tapi itu nggak cukup, Bu. Anin tahu Ayah ingin lebih. Dia selalu ingin mendengarkan cerita Anin, tapi…”
Ibunya mengusap lembut pipi Anin yang basah. “Nak, Ayahmu nggak pernah meminta lebih. Dia cuma ingin kamu bahagia. Dia tahu kamu mencintainya, meski kamu tak sempat mengatakannya. Itu sudah cukup untuknya.”
Anin terisak. “Tapi sekarang Anin nggak bisa bilang apa-apa lagi ke Ayah…”
“Tapi kamu masih bisa bercerita, Nak. Berceritalah, bukan hanya untuk Ayah, tapi untuk dirimu sendiri. Agar kenangan itu tak pernah hilang.”
Anin mengangguk pelan, memeluk ibunya erat. Tangis yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah. Tapi dari tangis itu, ia merasakan kekuatan yang perlahan tumbuh. Ayahnya mungkin telah pergi, tapi cinta yang ia bagi tak pernah benar-benar hilang. Cinta itu tertinggal dalam kenangan, dalam setiap cerita yang dulu ia bagikan. Anin kini menyadari bahwa ayahnya tak pernah meminta banyak. Bagi ayahnya, mendengar bahwa Anin bahagia sudah lebih dari cukup untuk mengisi hatinya dengan kebanggaan dan cinta yang tak bertepi.
Mulai hari itu, Anin hidup dengan kesadaran baru. Ia belajar menghargai setiap detik yang ia habiskan bersama ibunya, pada setiap percakapan kecil yang dulu sering ia abaikan. Ia mulai menulis, mencatat kenangan-kenangan masa kecilnya, mengenang setiap momen bersama ayahnya. Melalui tulisan-tulisannya, Anin merasa ayahnya masih mendengarkannya, meski tak lagi ada di dunia.
Anin belajar bahwa cinta sejati tak pernah benar-benar hilang. Cinta itu tetap ada, dalam setiap kata yang belum terucap, dalam setiap cerita yang belum selesai. Kini, meski ayahnya telah tiada, cerita mereka akan terus berlanjut, dalam hati Anin, dalam ingatannya, dan dalam hidupnya yang masih harus terus berjalan.
Di ruang tamu yang sunyi, Anin masih bercerita. Bukan lagi untuk didengar, tapi untuk menghargai setiap detik yang telah terlewat untuk mengingat bahwa cinta yang pernah ada, akan selalu ada, selama kita tetap mengingatnya.
***
*) Penulis adalah Mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Srab, Fakultas Humaniora Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
**) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kopinspirasi.com
Discussion about this post