Oleh: Wail Ar*)
Seandainya
Seandainya pertemuan itu tak pernah kita janjikan di seberang jalan yang basah oleh sisa air hujan
Apa yang akan engkau berikan kepadaku, kesepian atau pintu pengasingan?
Seandainya kakimu enggan melintas melewati lalu lalang orang pulang
Mungkin kita tak akan pernah menjadi dua orang yang tak saling kenal
Lantas apa yang akan kau hidangkan selepas itu, samudera air mata atau perih nyeri di uluh hati yang berhari-hari enggan pergi?
Seandainya percakapan bulan lalu tak pernah kita lakukan dengan kedua mata tajam yang menusuk masuk ke jantung waktu sudah aku tinggalkan kesibukanku mencintaimu, tetapi selepas itu apa yang kau berikan kepadaku, luka atau kutukan rasa yang mematikan kata-kata dikepala?
Pertanyaan itu terus tumbuh menjalar ketika aku tak lagi menemukan tempat untuk pulang selain engkau.
Jogja, 2023
Di Sebuah Bukit Aku Menemukanmu Menjerit Sakit
Pandang tajam yang tak pernah hilang
Terus membututi jejak dari awal kau beranjak
Mata minimalis yang terkapar kedalam alir sungai
Tak pernah kutemukan mengambang di genang air tenang
Kesepian terus tersungkur ketepian tangan memanjang
Bunyi kau anggap sunyi yang tak pernah bersembunyi
Ia terus bernyanyi meski bibirmu getar gemetar kedinginan
Di lereng bukit itu
Engkau menangis menyeduh sedih paling perih
Mengobati luka kakimu yang berani telanjang melewati duri-duri panjang
Sesekali, menyeka tangis dari bekas baju yang kau kenakan
Di balik pohon anggur
Tak sengaja aku mengintipmu
Ingin menyapamu dan manidurkan kepalamu di pundakku
Mengecup kening beningmu, memeluk tubuh runcingmu agar resah tak semakin menjalar membentuk akar
Maaf aku lancang mencintaimu dari balik bukit itu
Sebab segala kata-kata yang ku asuh
Telah bermuara di parasmu
Jogja, 2022
Esok, Dan Seterusnya
Esok dan seterusnya aku akan tetap mencintaimu
Meski ruang tempatku berteduh sudah tak tersedia lagi untukku
Aku akan membangun istana sendiri di tepi hatimu yang belukar
Mengemis jika lapar dan memelukmu dari jauh kalau rindu
Esok dan seterusnya aku akan tetap mencintaimu
Meski aku adalah gambaran kehancuran bagi seluruh tawamu
Mala petaka paling bahaya di setiap langkahmu, perih di sekujur luka tubuhmu dan hujan bagi seluruh terang harimu
Esok dan seterusnya aku akan tetap mencintaimu
Meski waktu kerap menayangkan makna-makna indah di kotaku
Aku rela meninggalkannya demi engkau yang ku sebut cinta
Esok dan seterusnya aku akan tetap mencintaimu
Mengucapkan selamat pagi dari jendelakamarku yang rapuh
Menyiapkan makanan meski asin terasa, namun percayalah itu semua terbuat dari tangan pecinta
Esok dan seterusnya aku akan tetap mencintaimu
Sebagaimana akar kekar tak bisa merobohkan batang kecuali di tebang
Esok dan seterusnya, esok dan seterusnya hanya cinta yang aku punya.
Jogja, 2023
Aku Tak Punya Meja Membaca, Maka!
Aku tak punya meja membaca
Maka belikan aku satu saja yang jelek atau yang baik seperti negeri
Kata-kata selalu hilang menjafi kenang
Pecah berbuah resah, dan kembali membawa petaka
Mimpi-mimpiku mengapung di perairan selat malaka
Berenang menghampiri kotaku
Lalu putar balik di rangkul tuan yang baru
Langkahku sempoyongan
Semenjak huruf-huruf yabg tegak berdiri di bait puisi
Pergi manjadi perih di otakku
Aku tak punya meja membaca
Maka belikan aku satu saja
Agar bahasa yang ku asuh kembali utuh.
Jogja, 2023
*) Pemuda kelahiran Sumenep Madura, Mahasiswa UNU Yogyakarta, beberapa tulisannya dimuat di media online ataupun cetak.
Discussion about this post